Ziarah Sunyi di Jonggol, Kediaman Itu Saksi Mata Perjuangan Almarhum

Ziarah Sunyi di Jonggol, Kediaman Itu Saksi Mata Perjuangan Almarhum

Bogor (Kabar Patriot.com) – Angin sore menyapu pelan ladang-ladang kecil di pinggir Jonggol. Aroma tanah yang baru diguyur gerimis masih melekat di udara. Langit menggantung kelabu, seolah turut mengirimkan doa atas kepergian seorang ibu yang tak lagi menghuni dunia.

Di balik pagar sederhana rumah duka, dua sosok tiba dengan langkah penuh takzim. Haji Bode, pengurus Persatuan Putra Putri Angkatan Darat (PPPAD) Jawa Barat, mengenakan baju koko putih yang sederhana namun berwibawa. Di sampingnya, Puguh Kuswanto, Ketua PPPAD Kabupaten Bogor, tampak tak kalah khidmat. Keduanya datang bukan sebagai pejabat organisasi, tapi sebagai saudara, sebagai manusia yang membawa duka di dadanya.

Mereka menyambangi kediaman almarhumah, ibunda dari Om Bule, salah seorang pengurus PPPAD yang telah lama menjadi tulang punggung organisasi di akar rumput. Bagi mereka, Om Bule bukan sekadar rekan. Ia adalah sahabat seperjuangan, seorang anak tentara yang menjadikan nilai-nilai pengabdian sebagai bagian dari napas hidupnya.

Rumah duka itu sederhana. Tak ada karangan bunga mewah atau suara pelantang yang gaduh. Hanya lantunan ayat-ayat suci dan bisik pelan para pelayat yang bergantian membacakan doa. Di ruang tamu yang sempit, karpet digelar, dan air mata ditampung dalam diam.

Haji Bode duduk di samping Om Bule, menggenggam tangannya. Tak ada kata yang lebih kuat dari diam yang penuh empati. Kadang, yang dibutuhkan manusia bukan nasihat, tapi keberadaan yang hadir utuh di saat kehilangan menggigit dada.

“Kita semua adalah anak dari seorang ibu,” bisik Puguh kemudian. “Dan hari ini, ibumu menjadi ibu kami semua.” Ucapan itu sederhana, tetapi terasa menembus dinding kesedihan. Sebab dalam organisasi yang berakar dari nilai militer, ada kalanya kasih sayang dan solidaritas tak diucap keras—cukup hadir, cukup duduk bersama dalam senyap yang bermakna.

Kehadiran para pengurus PPPAD ini menjadi simbol bahwa duka seseorang adalah duka bersama. Tak ada hierarki dalam kehilangan. Di mata kematian, semua pangkat luluh, semua gelar luruh, semua status kembali ke tanah.

Matahari mulai tenggelam di balik bukit Jonggol. Para tamu mulai beranjak satu per satu. Namun kehangatan yang tertinggal justru semakin nyata. Bukan dari lilin atau dupa, melainkan dari rasa persaudaraan yang tumbuh di antara duka dan doa.

Dan begitulah, dalam satu sore sunyi di Jonggol, organisasi itu kembali menunjukkan wajah terbaiknya: bukan lewat parade, bukan lewat pidato, melainkan lewat langkah pelan menuju rumah duka—langkah manusiawi yang paling dalam dari semua bentuk pengabdian. (rio/bode/puguh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *