Skandal Hukum APKOMINDO: 10 Tahun Sengketa, 24 Perkara, dan Jejak Rekayasa Hukum

Api Sengketa yang Tak Pernah Padam

 Lebih dari satu dekade lamanya, konflik internal Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (APKOMINDO) tak kunjung padam. Sejak 2015, organisasi yang mestinya menjadi rumah bagi para pelaku industri teknologi informasi justru berubah menjadi arena pertarungan hukum tanpa ujung.

Kini, memasuki tahun ke-10, panasnya sengketa itu kembali membara. Pada Selasa, 9 September 2025, ruang sidang PTUN Jakarta kembali menjadi panggung drama. Perkara No. 212/G/2025/PTUN.JKT dipimpin oleh Ridwan Akhir, SH., MH., dengan dua hakim anggota serta seorang panitera pengganti. Di sinilah, fakta-fakta mengejutkan terkuak—fakta yang membuat Sekretaris Jenderal APKOMINDO sah, Puguh Kuswanto, benar-benar geram.

 

Sepuluh tahun, Dua Puluh Empat Perkara dan Sepuluh Laporan Polisi

Bila ditarik ke belakang, sengketa ini sudah menelurkan 24 perkara hukum dan sepuluh laporan polisi. Dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, hingga PTUN, sedangkan loporan polisi dari tingkat sampai mabes. Dari gugatan perdata, pidana, sampai hak cipta. Sebuah rekor hitam dalam sejarah organisasi profesi di Indonesia.

“Bayangkan, 24 perkara dan sepuluh Laporan polis hanya untuk satu organisasi profesi. Ini bukan lagi konflik internal, tapi telah menjelma jadi skandal hukum nasional,” ujar seorang pengamat hukum yang mengikuti persidangan, menahan geleng kepala.

 

SK yang Sudah Inkracht, Tapi Masih Digugat

Salah satu fakta paling mengherankan adalah keberanian pihak penggugat—Rudy Dermawan Muliadi dan Suwandi Sutikno—untuk menggugat ulang SK Kemenkumham APKOMINDO No. AHU-0000923.AH.01.08.Tahun 2024, padahal SK itu sudah pernah diuji di Mahkamah Agung.

Putusan No. 483 K/TUN/2016 menolak kasasi terhadap SK tersebut. Artinya, SK itu sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

“Ini jelas penyalahgunaan proses peradilan, abuse of process,” kata Soegiharto Santoso alias Hoky, Ketua Umum APKOMINDO sah.

“Bagaimana mungkin perkara yang sudah inkracht bisa digugat kembali? Ini merusak tatanan hukum kita.”

 

Skandal Munaslub 2015: Satu Peristiwa, Dua Fakta!

Namun, puncak drama bukan di situ. Semua mata tertuju pada Munaslub 2 Februari 2015. Dalam gugatan yang diajukan ke PTUN, kuasa hukum penggugat—Firma Hukum Filipus Arya Sembadastyo dkk—mengklaim Munaslub itu mengangkat kepengurusan baru: Ketua Umum Rudy Dermawan, Sekjen Faaz Ismail, dan Bendahara Adnan.

Tetapi, dalam dokumen resmi lainnya—Memori Kasasi Perkara 2070 K/PDT/2025—firma hukum yang sama menyebut susunan berbeda: Ketua Umum Rudi Rusdiah, Sekjen Rudy Dermawan, dan Bendahara Suharto Juwono.

Satu peristiwa, dua fakta. Satu tanggal, dua versi. Dan semuanya ditandatangani oleh advokat yang sama.

“Ini aib hukum! Bagaimana bisa dokumen resmi pengadilan memiliki dua versi kebenaran? Ini bukan sekadar kekhilafan, tapi rekayasa hukum terstruktur,” tegas Puguh Kuswanto dengan nada bergetar menahan marah.

 

Ketika Peradilan Dipermainkan

 Fakta kontradiktif itu membuat persidangan mendidih. Bagi Puguh, kasus ini lebih dari sekadar sengketa organisasi. Ia menyebut ada indikasi obstruction of justice—upaya sengaja menyesatkan pengadilan.

Ironisnya, meski penuh kejanggalan, kubu penggugat sempat memenangkan 9 perkara.

Bagi Puguh, kemenangan itu justru memperlihatkan rapuhnya marwah peradilan.

“Kalau rekayasa seperti ini bisa lolos, apa kabar integritas hukum kita? Indonesia bisa kehilangan kepercayaan masyarakat pada sistem peradilannya sendiri,” katanya.

 

Tembok Keras dari Kemenkumham

Dalam persidangan, kuasa hukum Kementerian Hukum dan HAM RI tampil tegas. Mereka mematahkan gugatan dengan argumen bahwa:

  1. PTUN tak berwenang. Dualisme kepengurusan organisasi adalah urusan Pengadilan Negeri.
  2. Penggugat tidak punya legal standing. Mereka bukan pengurus sah yang tercatat di SABH Kemenkumham.
  3. SK Kemenkumham sah secara administratif. Diterbitkan berdasar akta notaris otentik.

Pernyataan ini makin menguatkan posisi APKOMINDO sah pimpinan Hoky dan Puguh.

 

Dari Ruang Sidang ke Meja Polisi

Tidak puas hanya dengan perlawanan di pengadilan, pihak APKOMINDO sah sudah melangkah lebih jauh: melaporkan dugaan manipulasi dokumen ini ke kepolisian.

“Ini bukan sekadar gugatan fiktif. Ini sudah masuk ranah pidana. Kami ingin skandal hukum ini diusut tuntas,” tegas Hoky.

 

Lebih dari Sekadar Sengketa Organisasi

Hari itu, sejumlah pengurus APKOMINDO hadir di ruang sidang. Ada Yolanda Roring, ada Cepu Suprianto, dan beberapa lainnya. Mereka menyaksikan langsung bagaimana organisasi mereka—yang seharusnya mengurus kepentingan para pengusaha komputer—terseret dalam pusaran konflik yang tak kunjung usai.

Di luar sidang, bisik-bisik terdengar. Bahwa perkara ini bisa menjadi ujian besar integritas peradilan Indonesia. Apakah hakim akan menutup pintu bagi penyalahgunaan proses hukum? Atau membiarkan konflik ini berlarut tanpa ujung?

 

Epilog: Ujian Integritas Hukum Indonesia

Di ujung sidang, pernyataan Puguh Kuswanto menggema:

“Ini bukan lagi sekadar soal siapa yang berhak memimpin APKOMINDO.

Ini tentang wajah hukum Indonesia.

Tentang apakah keadilan bisa dibeli dengan manipulasi, atau ditegakkan dengan integritas.”

Sengketa APKOMINDO telah menjadi cermin buram sistem hukum nasional.

Dan kini, bola panas ada di tangan majelis hakim PTUN Jakarta.

Apakah mereka akan memilih jalan tegaknya hukum, atau terperangkap dalam rekayasa yang telah berlangsung selama 10 tahun?

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *