Sangsi Hukum Untuk Pemerintah Desa Dan Kepala Sekolah Akibat Tidak Menggunakan Tenaga Ahli Bersertifikat Dalam Proyek Konstruksi
Oleh :
Saepulloh
Ketua Asosiasi DPD SBU JAKON BOGOR RAYA
Pekerjaan konstruksi merupakan kegiatan berisiko tinggi yang menuntut keahlian khusus. Oleh karena itu, penggunaan tenaga ahli bersertifikat adalah kewajiban hukum yang diatur dalam undang-undang. Melanggar aturan ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan pelanggaran serius yang dapat membawa konsekuensi hukum berat, baik bagi pelaksana proyek maupun penanggung jawabnya.
Landasan Hukum Keterlibatan Tenaga Ahli
Dasar hukum yang mengatur kewajiban ini sangat kuat dan berlapis. Tujuannya adalah untuk menjamin kualitas, keamanan, dan keselamatan seluruh pihak yang terlibat.
* Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi: Ini adalah undang-undang utama yang secara tegas mewajibkan setiap pekerjaan konstruksi menggunakan tenaga kerja yang memiliki sertifikat kompetensi kerja (SKK).
* Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020: Aturan ini menjadi pedoman teknis yang menjelaskan secara rinci tentang tata cara sertifikasi, kualifikasi, dan registrasi tenaga kerja konstruksi.
* Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: Undang-undang ini menjadi dasar hukum untuk penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di semua sektor, termasuk konstruksi, yang mengharuskan adanya tenaga ahli K3.
* Peraturan Menteri PUPR Nomor 10 Tahun 2021: Aturan ini secara spesifik mengatur penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) dan mewajibkan adanya tenaga ahli K3 Konstruksi, terutama untuk proyek yang memiliki risiko tinggi.
sangsi dan Konsekuensi Hukum
Jika pekerjaan konstruksi tidak melibatkan tenaga ahli bersertifikat, sangsi yang dapat dikenakan sangat beragam dan berlapis.
1. Sangsi Administratif
sangsi ini diberikan oleh instansi pemerintah terkait (misalnya Dinas PUPR) dan merupakan langkah awal penegakan hukum.
* Peringatan Tertulis: Ini adalah teguran formal pertama. Jika peringatan ini diabaikan, sangsi yang lebih berat akan menyusul.
* Denda Administratif: Pelanggar dapat dikenai denda uang dalam jumlah tertentu, yang besarannya disesuaikan dengan tingkat pelanggaran.
* Penghentian Sementara Kegiatan Usaha: Izin operasional perusahaan dapat dibekukan untuk jangka waktu tertentu hingga semua persyaratan hukum terpenuhi.
* Pencantuman dalam Daftar Hitam (Blacklist): Perusahaan yang masuk dalam daftar hitam akan dilarang mengikuti tender proyek pemerintah di seluruh Indonesia. sangsi ini dapat sangat merugikan bisnis karena menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan proyek-proyek besar.
* Pencabutan Izin Usaha: Ini adalah sangsi tertinggi. Izin usaha perusahaan akan dicabut, yang berarti perusahaan tidak bisa lagi beroperasi di sektor jasa konstruksi.
2. Sangsi Pidana
sangsi pidana dikenakan jika pelanggaran tersebut menimbulkan kerugian besar, terutama yang berkaitan dengan keselamatan jiwa.
* Hukuman Penjara dan Denda: Jika kelalaian akibat penggunaan tenaga kerja tidak bersertifikat menyebabkan kegagalan bangunan yang mengakibatkan kerugian materi atau, lebih parah lagi, korban jiwa, pelaksana, penanggung jawab, bahkan pemberi proyek dapat dijerat hukuman pidana. Pasal 86 UU Jasa Konstruksi mengatur hukuman penjara hingga 5 tahun dan/atau denda hingga 5 miliar rupiah.
* Tindak Pidana Korupsi: Untuk proyek yang dibiayai oleh APBN, APBD, atau Dana Desa, penggunaan tenaga kerja tidak bersertifikat dan tidak sesuai standar dapat dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang dan perbuatan curang yang berujung pada kerugian negara. Hal ini dapat diproses sebagai tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman pidana yang jauh lebih berat.
3. Sangsi Perdata
sangsi perdata muncul dari kerugian yang dialami oleh pihak lain, seperti pemilik proyek atau masyarakat.
* Kewajiban Ganti Rugi: Jika terjadi kegagalan konstruksi, pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi atas semua kerugian yang timbul. Tuntutan ini bisa berupa biaya perbaikan, penggantian kerugian material, hingga kerugian imaterial lainnya.
* Pembatalan Kontrak: Pemberi proyek berhak membatalkan kontrak kerja jika penyedia jasa terbukti tidak memenuhi persyaratan teknis yang tercantum dalam kontrak, termasuk penggunaan tenaga ahli yang tidak sesuai standar.
1.Konsekuensi bagi Pemerintah Desa
Jika proyek konstruksi dilaksanakan oleh pemerintah desa, seperti pembangunan infrastruktur menggunakan Dana Desa, konsekuensi hukumnya tetap berlaku dan dapat langsung mengenai para penanggung jawab di tingkat desa.
* sangsi Administratif: Dinas PUPR atau instansi teknis di kabupaten/kota dapat mengeluarkan peringatan atau memerintahkan penghentian pekerjaan.
* sangsi Pidana: Penanggung jawab kegiatan, termasuk kepala desa, dapat dijerat hukum jika terjadi kegagalan bangunan yang menimbulkan korban. Selain itu, penyimpangan penggunaan Dana Desa dapat diproses sebagai tindak pidana korupsi.
* Dampak Non-Hukum: Selain sangsi formal, desa juga akan menghadapi dampak negatif seperti hilangnya kepercayaan masyarakat dan potensi temuan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
2.Sangsi Hukum untuk Pembangunan Swakelola Sekolah Tanpa Tenaga Ahli Bersertifikat.
Pembangunan sekolah melalui skema swakelola yang didanai oleh Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku. Meskipun proyek ini dikelola secara internal oleh pihak sekolah atau komite, kewajiban untuk menggunakan tenaga ahli bersertifikat tetap bersifat mutlak. Pelanggaran terhadap kewajiban ini dapat berujung pada sangsi yang serius dan berlapis.
1. Sangsi Administratif
sangsi administratif diterapkan oleh instansi pemerintah yang berwenang, seperti Dinas Pendidikan, sebagai bentuk pengawasan dan penertiban. sangsi ini bertujuan untuk memastikan proyek berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan.
* Penangguhan atau Penghentian Dana DAK: Jika dalam proses pengawasan ditemukan bahwa proyek swakelola tidak mematuhi petunjuk teknis (Juknis), termasuk tidak adanya keterlibatan tenaga ahli bersertifikat, Dinas Pendidikan dapat menangguhkan pencairan dana DAK tahap berikutnya. Bahkan, proyek dapat diperintahkan untuk dihentikan sementara hingga pihak sekolah dapat memenuhi persyaratan tersebut.
* Kewajiban Pengembalian Dana: Apabila proyek swakelola dianggap gagal atau tidak memenuhi standar kualitas yang diisyaratkan akibat kelalaian dalam pelaksanaan, pihak pelaksana (kepala sekolah atau panitia) dapat diwajibkan untuk mengembalikan seluruh dana yang telah diterima ke kas negara. Kewajiban ini muncul sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penggunaan anggaran publik yang tidak efektif.
2. Sangsi Pidana
sangsi pidana dikenakan jika kelalaian tersebut menimbulkan dampak yang lebih parah, terutama yang berkaitan dengan keselamatan dan kerugian negara.
* Hukuman Penjara: Kepala sekolah atau ketua panitia swakelola yang ditunjuk sebagai penanggung jawab proyek dapat dijerat hukuman pidana jika kelalaian akibat tidak menggunakan tenaga ahli bersertifikat menyebabkan kegagalan bangunan yang mengakibatkan kerugian material besar atau, yang paling fatal, korban jiwa. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi yang mengancam pelakunya dengan hukuman pidana penjara.
* Tindak Pidana Korupsi: Dana DAK adalah anggaran publik yang harus dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel. Jika dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan, seperti laporan fiktif, mark-up anggaran, atau penggunaan dana yang tidak sesuai peruntukan, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Pihak-pihak yang terlibat, termasuk kepala sekolah atau panitia swakelola, dapat diproses hukum sesuai dengan undang-undang tindak pidana korupsi.
3. Sangsi Perdata
sangsi perdata muncul dari kerugian yang dialami oleh pihak lain akibat kelalaian dalam pelaksanaan proyek.
* Tuntutan Ganti Rugi: Jika bangunan sekolah ambruk atau mengalami kerusakan serius setelah diserahkan dan digunakan, pihak sekolah sebagai pelaksana swakelola dapat dituntut secara perdata oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan, seperti yayasan, orang tua siswa, atau pemerintah. Tuntutan ini bertujuan untuk meminta ganti rugi atas kerugian yang timbul, termasuk biaya perbaikan, kerugian material, dan kerugian immaterial lainnya.
Dengan demikian, meskipun skema swakelola memberikan fleksibilitas, hal itu tidak menghapus tanggung jawab hukum untuk mematuhi standar keselamatan dan kualitas. Kepala sekolah dan panitia pelaksana harus memastikan bahwa proyek dikerjakan oleh tenaga yang kompeten dan bersertifikat demi menghindari konsekuensi hukum yang serius.
Kesimpulan: Penggunaan tenaga ahli bersertifikat bukanlah pilihan, melainkan keharusan hukum untuk menjamin keselamatan dan kualitas. Mengabaikannya sama saja dengan mengambil risiko besar yang bisa berujung pada kerugian finansial, reputasi, dan bahkan hukuman pidana.