BOGOR – Proyek pembangunan di desa dan sekolah yang mengabaikan penggunaan tenaga ahli bersertifikat ternyata bukan sekadar pelanggaran prosedur. Praktik ini adalah bom waktu yang bisa meledak menjadi perkara pidana, perdata, hingga korupsi. Ketua Asosiasi DPD SBU Jasa Konstruksi Bogor Raya, Saepulloh, mengingatkan keras: kepala desa dan kepala sekolah bisa kehilangan jabatan, kebebasan, bahkan harta jika nekat bermain-main dengan aturan.
Saepulloh menegaskan, pekerjaan konstruksi termasuk kategori berisiko tinggi dan memerlukan keahlian khusus. “Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi sudah tegas mewajibkan tenaga kerja konstruksi memiliki sertifikat kompetensi. Mengabaikannya sama saja melanggar hukum,” ujarnya, Kamis (14/8).
Landasan hukum kewajiban ini juga diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta Peraturan Menteri PUPR Nomor 10 Tahun 2021 yang mengatur Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK).
Sangsi Administratif, Pidana, dan Perdata
Menurut Saepulloh, pelanggaran aturan penggunaan tenaga ahli bersertifikat dapat memicu tiga jenis sangsi.
1.Sangsi Administratif – mulai dari peringatan tertulis, denda, penghentian sementara kegiatan, pencantuman dalam daftar hitam (blacklist) tender pemerintah, hingga pencabutan izin usaha.
2.Sangsi Pidana – jika kelalaian mengakibatkan kegagalan bangunan yang menimbulkan kerugian besar atau korban jiwa. Pasal 86 UU Jasa Konstruksi mengatur ancaman penjara hingga 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp5 miliar. Untuk proyek dengan anggaran negara, pelanggaran ini juga bisa diproses sebagai tindak pidana korupsi.
3.Sangsi Perdata – berupa kewajiban ganti rugi atau pembatalan kontrak kerja jika hasil pekerjaan tidak memenuhi standar yang disepakati.
Pemerintah Desa dan Dana Desa
Bagi pemerintah desa, khususnya dalam pembangunan infrastruktur yang dibiayai Dana Desa, sangsi ini berlaku penuh. “Kepala desa bisa dijerat hukum pidana bila kelalaian menyebabkan kerugian atau korban jiwa. Penyimpangan penggunaan dana pun berpotensi masuk ranah korupsi,” tegas Saepulloh.
Selain konsekuensi hukum, desa juga terancam kehilangan kepercayaan masyarakat serta berpotensi mendapat temuan audit dari BPK atau BPKP.
Sekolah dan Dana Alokasi Khusus (DAK)
Hal serupa berlaku pada pembangunan sekolah melalui skema swakelola yang dibiayai Dana Alokasi Khusus (DAK). Kepala sekolah atau panitia swakelola wajib melibatkan tenaga ahli bersertifikat.
Jika melanggar, sangsinya bisa berupa penangguhan pencairan dana, penghentian proyek, hingga kewajiban mengembalikan dana ke kas negara. Dalam kasus yang lebih berat, penanggung jawab proyek dapat dijerat hukuman penjara atau pasal korupsi jika ditemukan penyimpangan anggaran.
“Sekolah memang diberi fleksibilitas dalam swakelola, tapi bukan berarti bebas dari kewajiban hukum. Standar keselamatan dan kualitas tetap harus dijaga,” kata Saepulloh.
Peringatan Keras
Ia mengingatkan seluruh pihak yang mengelola proyek konstruksi, baik pemerintah desa maupun sekolah, agar tidak menganggap enteng kewajiban ini. “Gunakan tenaga ahli bersertifikat. Ini bukan sekadar formalitas, tapi bentuk perlindungan hukum dan keselamatan bagi semua pihak,” pungkasnya.