Miris, Jiwa Wartawan Ini Tercabik, Saat Dikoyak Amarah Security di Ujung Ramadhan

Miris, Jiwa Wartawan Ini Tercabik, Saat Dikoyak Amarah Security di Ujung Ramadhan

Bogor (Kabar Patriot.com) – Tepat pukul dua belas lewat tiga puluh menit. Matahari merayap naik, menggantung berat di atas atap-atap kantor pemerintahan yang berselimut debu dan rutinitas. Di trotoar sempit depan kantor Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) – yang lebih akrab disebut DPKPP kabupaten Bogor, Jawa Barat, seorang pria berjalan santai bersama dua kawannya. Namanya Indra, tapi para sejawat di dunia jurnalistik mengenalnya sebagai Nyok.

Hari itu, mereka bertiga tak lebih dari tiga orang wartawan yang sedang mencari makan siang. Bulan Ramadan membuat langkah mereka lambat, ucapan mereka pendek, dan hati mereka ingin adem. Mereka mengarah ke sebuah warung kecil di samping kantor Dinas Kesehatan, tempat biasa tukang berita bersembunyi dari terik sambil mencari cerita.

Namun, di depan pintu gerbang DPKPP, langkah Indra terhenti. Seseorang memanggilnya. Seorang petugas keamanan berbaju safari cokelat, dengan sikap tegak seperti tiang bendera, tetapi ucapannya jauh dari wibawa. Scurty—begitulah ia dikenal, penjaga kantor yang namanya cukup sering disebut, tapi tak pernah dengan pujian.

“Kalau mau berantem, sama gua aja!” bentaknya, nada suaranya keras dan kasar, seolah sedang menghadapi musuh bebuyutan, bukan tamu yang berjalan tanpa niat ribut. Indra menoleh. Wajahnya tenang, tapi matanya menangkap luka lama yang mungkin belum sembuh. Namun ia sadar, ini bulan Ramadan. Ada yang lebih besar dari ego yang ingin membalas. Ia hanya diam, menghela napas, dan memilih melanjutkan langkah ke warung di seberang.

Di warung sederhana dengan bangku plastik dan kipas angin kecil yang berdengung tak pasti, Indra duduk bersama dua koleganya. Di hadapan segelas teh tawar, ia menceritakan peristiwa tadi. Tentang betapa tak layaknya seorang penjaga menyambut tamu dengan umpatan. Tentang bagaimana peran keamanan tak seharusnya menjadi pengobar api, tetapi peneduh di tengah bara.

Dari obrolan itulah muncul ingatan akan tanggal 19 Maret lalu. Hari saat Indra dan seorang rekan, Jon Manik, menemui Kepala Dinas DPKPP, Tengku Mulya. Pertemuan yang sebenarnya biasa saja, hanya sebuah teguran ringan kepada Security karena sikap yang tak pada tempatnya. Tapi, entah bagaimana, teguran itu berubah versi saat disampaikan. Security mengadu ke atasannya, Tengku Mulya, bahwa ia dimarahi. Padahal tidak. Indra hanya menegur, bukan membentak. Tapi memang begitulah kadang cerita berjalan. Tidak apa yang dikatakan, tapi siapa yang lebih dulu menyampaikan.

Kini, Indra dan rekan-rekan wartawan meminta keadilan. Bukan sekadar demi harga diri, tapi demi menjaga marwah profesi. Mereka tak ingin jadi korban fitnah atau sikap arogan yang dilindungi jabatan. Mereka ingin Kadis Tengku turun tangan, melihat jernih persoalan yang sebenarnya sederhana: soal etika dan keberadaban. “Kami tidak datang untuk cari ribut,” ucap Indra pelan, “Kami hanya bertamu, membawa niat baik dan kerja jurnalistik yang seharusnya dijaga bersama.”

Ia pun berharap, Bupati Rudy Susmanto tak menutup mata. Agar tak ada lagi kesewenang-wenangan yang dibiarkan tumbuh dari hal-hal kecil seperti ini. Sebab hari ini satu wartawan dibentak. Esok bisa jadi warga biasa yang jadi sasaran. Dan kalau itu terjadi, siapa lagi yang akan bicara? (nyok/rio)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *